Audifax, dalam salah satu bukunya,
“Self Transformation: Sastra Jendra, Energi Minimal, dan Citra Illahi Dalam
Diri” (2010), mengatakan bahwa hidup merupakan kebetulan yang bukan
kebetulan. Apa pasal? Ada banyak hal tak terduga yang kerap terjadi dalam
kehidupan ini. Audifax menyebutnya dengan istilah magic moment.
Tak terpikirkan terjadi, ndilalah terjadi. Tak pernah bermimpi ke luar
negeri, tahu-tahu dapat undian hadiah ke luar negeri. Tak pernah merasa
memiliki kemampuan untuk menjadi kepala cabang sebuah perusahaan BUMN, eee,
tahu-tahu malah lolos tes seleksi.
Hal seperti itulah yang terjadi
pada salah seorang rekan saya. Merasa hanya menjadi karyawan biasa-biasa saja,
ia tak pernah menyangka jika terpilih mewakili kantor cabangnya untuk mengikuti
tes seleksi calon kepala cabang di kantor pusat sana. Mendapat anugerah seperti
itu, bukannya senang justru ia malah puyeng. Jujur, ia mengatakan, “Saya
ini nol puthul (tidak bisa sama sekali) bahasa Inggris-nya, lha,
bagaimana saya bisa melewati seleksi itu,” ujarnya cemas. Di tengah-tengah
kecemasannya itu, ia memberanikan diri untuk sowan ke rumah kyai-nya –
hitung-hitung mohon dukungan spiritual. Ia masih tak yakin bisa lolos seleksi.
Di hadapan Sang Kyai, ia
menceritakan segala kecemasannya itu. Dan demi mendapati santrinya yang kelimpungan
seperti itu, Sang Kyai menganjurkan si santri untuk berdoa dengan wirid
khusus sebagaimana yang diajarkan pada saat itu juga. Dalam wirid itu ada satu
syarat yang tidak boleh dilupakan, yakni membayangkan wajah “orang pintar” –
dengan harapan ruh orang (pintar) tersebut dapat membantunya dalam mengerjakan
soal-soal tes nanti.
Sungguh! Diluar dugaan sebelumnya,
ternyata ia mendapat nilai sempurna untuk tes bahasa Inggris. Subhanallah!
Semua soal dilahap habis tanpa ada satupun yang salah. Benar-benar luar biasa
bukan?!
Penasaran, saya bertanya pada
rekan saya itu, “Sampean, pada saat membaca wirid membayangkan
wajah siapa?”
Sambil tertawa cekikikan,
ia menjawab mantap, “Bung Hatta!”
“Kenapa Bung Hatta?” tanya saya
lagi.
“Karena menurut saya, orang pintar
di Indonesia itu, ya, Bung Hatta ...,” jawabnya cengengesan.
____
Lupakan sejenak cerita mengenai
sahabat saya itu, karena saya masih ingin berbincang dan bercerita kepada Anda
tentang sosok yang kurindukan itu. Bung hatta. Bicara mengenai Bung Hatta, saya
jadi teringat tentang peristiwa pada kisaran tahun 1956-an. Dimana pada saat
itu, Bung Hatta memutuskan untuk mundur dari pemerintahan karena merasa banyak
dikecewakan oleh kebijakan dan sikap politik Bung Karno. Maka, sejak saat itu,
pecahlah kongsi diantara keduanya.
Dalam pernyataannya, Bung Hatta
mengatakan, “Setelah ikut serta dalam menjalankan tugas membangun bangsa dari
atas selama sebelas tahun, saya ingin menyumbangkan kekuatan saya dari bawah
sebagai orang biasa yang bebas dari kedudukan apapun.”
Lantas, apa yang terjadi kemudian?
Perang-kah? Pemberontakan-kah? Jika
Anda berpikir seperti itu, maka Anda salah (besar). Boro-boro,
Bung Hatta angkat senjata untuk “mengganggu” pemerintahan Bung Karno, ngrecokin
sedikit pun, hal itu tidak pernah dilakukan oleh Bung Hatta. Kabarnya, hubungan
diantara kedua proklamator ini tak berubah sama sekali. Tetap gayeng,
rukun, dan mereka saling bertandang ke rumah masing-masing. Tak ada istilah
sakit hati dalam kamus Bung Hatta, apalagi dendam yang membara. Semua baik-baik
saja. Bung Hatta hanya tidak setuju dengan kebijakan politik Bung Karno. Itu
saja, tak lebih! Sungguh, pribadi yang (sangat) langka dewasa ini. Jujur, saya
rindu berat sama Anda, Bung! Adakah diantara Anda yang memiliki tabiat seperti
Bung Hatta?!
@kangwiguk
#lagirindu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berikan komentar dengan bahasa yang santun, mari kita biasakan diri untuk melakukan perubahan yang positif di sekitar kita.