Sabtu, 08 Agustus 2015

Rindu Bung Hatta

Audifax, dalam salah satu bukunya, “Self Transformation: Sastra Jendra, Energi Minimal, dan Citra Illahi Dalam Diri” (2010), mengatakan bahwa hidup merupakan kebetulan yang bukan kebetulan. Apa pasal? Ada banyak hal tak terduga yang kerap terjadi dalam kehidupan ini. Audifax menyebutnya dengan istilah magic moment. Tak terpikirkan terjadi, ndilalah terjadi. Tak pernah bermimpi ke luar negeri, tahu-tahu dapat undian hadiah ke luar negeri. Tak pernah merasa memiliki kemampuan untuk menjadi kepala cabang sebuah perusahaan BUMN, eee, tahu-tahu malah lolos tes seleksi. 
 
Bung Karno & Bung Hatta
Hal seperti itulah yang terjadi pada salah seorang rekan saya. Merasa hanya menjadi karyawan biasa-biasa saja, ia tak pernah menyangka jika terpilih mewakili kantor cabangnya untuk mengikuti tes seleksi calon kepala cabang di kantor pusat sana. Mendapat anugerah seperti itu, bukannya senang justru ia malah puyeng. Jujur, ia mengatakan, “Saya ini nol puthul (tidak bisa sama sekali) bahasa Inggris-nya, lha, bagaimana saya bisa melewati seleksi itu,” ujarnya cemas. Di tengah-tengah kecemasannya itu, ia memberanikan diri untuk sowan ke rumah kyai-nya – hitung-hitung mohon dukungan spiritual. Ia masih tak yakin bisa lolos seleksi.


Di hadapan Sang Kyai, ia menceritakan segala kecemasannya itu. Dan demi mendapati santrinya yang kelimpungan seperti itu, Sang Kyai menganjurkan si santri untuk berdoa dengan wirid khusus sebagaimana yang diajarkan pada saat itu juga. Dalam wirid itu ada satu syarat yang tidak boleh dilupakan, yakni membayangkan wajah “orang pintar” – dengan harapan ruh orang (pintar) tersebut dapat membantunya dalam mengerjakan soal-soal tes nanti.

Sungguh! Diluar dugaan sebelumnya, ternyata ia mendapat nilai sempurna untuk tes bahasa Inggris. Subhanallah! Semua soal dilahap habis tanpa ada satupun yang salah. Benar-benar luar biasa bukan?!

Penasaran, saya bertanya pada rekan saya itu, “Sampean, pada saat membaca wirid membayangkan wajah siapa?”

Sambil tertawa cekikikan, ia menjawab mantap, “Bung Hatta!”

“Kenapa Bung Hatta?” tanya saya lagi.

“Karena menurut saya, orang pintar di Indonesia itu, ya, Bung Hatta ...,” jawabnya cengengesan.

____

Lupakan sejenak cerita mengenai sahabat saya itu, karena saya masih ingin berbincang dan bercerita kepada Anda tentang sosok yang kurindukan itu. Bung hatta. Bicara mengenai Bung Hatta, saya jadi teringat tentang peristiwa pada kisaran tahun 1956-an. Dimana pada saat itu, Bung Hatta memutuskan untuk mundur dari pemerintahan karena merasa banyak dikecewakan oleh kebijakan dan sikap politik Bung Karno. Maka, sejak saat itu, pecahlah kongsi diantara keduanya.

Dalam pernyataannya, Bung Hatta mengatakan, “Setelah ikut serta dalam menjalankan tugas membangun bangsa dari atas selama sebelas tahun, saya ingin menyumbangkan kekuatan saya dari bawah sebagai orang biasa yang bebas dari kedudukan apapun.”

Lantas, apa yang terjadi kemudian?

Perang-kah? Pemberontakan-kah? Jika Anda berpikir seperti itu, maka Anda salah (besar). Boro-boro, Bung Hatta angkat senjata untuk “mengganggu” pemerintahan Bung Karno, ngrecokin sedikit pun, hal itu tidak pernah dilakukan oleh Bung Hatta. Kabarnya, hubungan diantara kedua proklamator ini tak berubah sama sekali. Tetap gayeng, rukun, dan mereka saling bertandang ke rumah masing-masing. Tak ada istilah sakit hati dalam kamus Bung Hatta, apalagi dendam yang membara. Semua baik-baik saja. Bung Hatta hanya tidak setuju dengan kebijakan politik Bung Karno. Itu saja, tak lebih! Sungguh, pribadi yang (sangat) langka dewasa ini. Jujur, saya rindu berat sama Anda, Bung! Adakah diantara Anda yang memiliki tabiat seperti Bung Hatta?!

@kangwiguk
#lagirindu



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan komentar dengan bahasa yang santun, mari kita biasakan diri untuk melakukan perubahan yang positif di sekitar kita.