Jumat, 28 Agustus 2015

Waktu Mustajab Dalam Berdoa

Dalam buku "Doa Ajaran Illahi -  Kumpulan Doa dalam Al Qur'an beserta Tafsirnya" sebagaimana yang disusun oleh Anis Masykhur dan Jejen Musfah (Noura Books, 2013), dikatakan bahwa, pada dasarnya doa bisa dilakukan di manapun dan kapanpun. Namun, para ulama kemudian memilah waktu-waktu yang baik untuk membaca doa, diantaranya sebagai berikut:

  1. Diantara azan dan iqamat. Sebagaimana Rasul SAW bersabda, "Tidak ditolak sesuatu yang dimohonkan antara azan dan iqamat." (HR.  At- Tirmidzi)

Rabu, 12 Agustus 2015

6 Adab Berdo'a Menurut Al Ghazali

Dalam kitabnya, Ihya' Ulum ad Din, Al Ghazali menjelaskan tentang adab berdoa, secara garis besar dapat dirangkum sebagai berikut:

Pertama, pada waktu dan tempat yang baik dan mulia, seperti pada hari Arafah, bulan Ramadhan, Hari Jum'at, atau sepertiga akhir malam. Doa-doa tersebut diucapkan dengan dalam kondisi yang amat tenang, misal ketika bersujud, sebelum dan sesudah sembahyang, ketika menghadapi musuh, dan lain-lain, dengan menghadap kiblat.

Kedua, membaca doa dengan penuh harap agar dikabulkan (raja') dan khawatir (khauf) jika tidak diperkenankan. Dalam hal ini dianjurkan juga agar merendahkan suaranya dan penuh dengan kekhusyukan, serta merasakan keagungan dan kebesaran Allah Swt.

Senin, 10 Agustus 2015

Bantuan Modal Yang Tak Pernah Habis

Malam itu, Kang No Dan Cak To berjalan beriringan menyusuri jalanan desa yang remang-remang. Suara jangkrik bersenandung bersama menemani setiap langkah kedua orang yang tengah dirundung masalah itu. Ya, Kang No dan Cak To bermaksud mengakhiri kehidupannya yang serba tak jelas itu.

"Sudah bosan saya jadi orang miskin terus, Cak," ujar Kang No sambil sesekali membetulkan sandal jepitnya yang kerap lepas itu.

"Sama, Kang. Saya juga bosan jadi pengangguran. Pekerjaan tak jelas, apalagi duitnya ...."

"Benar, Cak.  Makanya, kita harus bertekad untuk merubah kehidupan kita. Ingat! Allah tidak akan merubah suatu kaum, jika kaum itu tidak mau berusaha untuk merubah kehidupannya sendiri," kata Kang No menirukan sepenggal kalimat yang biasa dikutip oleh Gus Is itu.

"Sampean yakin, bahwa Gus Is pasti memberi bantuan modal kepada kita?"

"Saya yakin, Cak. Saaangat yakin!"

"Apa dasar keyakinan Sampean itu, Kang" Lha selama ini Gus Is sangat perhitungan kok dengan uang ...."


"Percayalah, Gus Is pasti akan memberi bantuan modalnya kepada kita."

Minggu, 09 Agustus 2015

Alhamdulillah, Akhirnya tablet itu pecah

Generasi gadget! Begitu saya menyebut untuk generasi zaman sekarang ini. Bagaimana tidak?! Rasanya kita tidak bisa hidup jika tanpa ada gadget. Mau tidur, jemari harus "menari-nari" di atas layar gadget terlebih dahulu - ya, semacam ritual sebelum tidur. Do'a sebelum tidur? Ah, itu soal gampang, belakangan juga bisa - kalau tidak lupa, sih. Tengah malam, saat "hajat hidup" ingin dituntaskan, maka hal pertama kali yang dilakukan sebelum menuntaskan "hajat" adalah mencari gadget-nya terlebih dahulu - meskipun cuma sekedar cek & ricek status, ada komentar atau tidak?! Begitu pula saat bangun tidur keesokan harinya, hal pertama yang dicari ya, gadget. Pokoknya gadget, gadget, dan gadget - saking tidak bisanya kita hidup tanpa gadget, kecuali saat cebok saja, begitu istilah yang digunakan oleh Edi Ah Iyubenu, kontributor Mojok.Co (MDC).

Maka, saya pun menyadari ketika anak sulung saya merengek minta dibelikan tablet. Selain bisa buat bermain, tablet juga sekaligus bisa difungsikan sebagai sarana belajar. "Ada banyak aplikasi yang bisa dimanfaatkan sebagai sarana belajar anak," begitu pembelaan yang disampaikan oleh ibunya. Jujur, jauh sebelum anak saya merengek minta dibelikan tablet, secara pribadi, sebagai orangtua yang baik dan sayang keluarga, saya pun sudah kepikiran untuk membelikan anak saya tablet. Lha, bagaimana tidak? Kawan-kawannya pada bawa tablet semua! Masak anak saya tidak? Apa kata dunia ...?!

Sabtu, 08 Agustus 2015

Rindu Bung Hatta

Audifax, dalam salah satu bukunya, “Self Transformation: Sastra Jendra, Energi Minimal, dan Citra Illahi Dalam Diri” (2010), mengatakan bahwa hidup merupakan kebetulan yang bukan kebetulan. Apa pasal? Ada banyak hal tak terduga yang kerap terjadi dalam kehidupan ini. Audifax menyebutnya dengan istilah magic moment. Tak terpikirkan terjadi, ndilalah terjadi. Tak pernah bermimpi ke luar negeri, tahu-tahu dapat undian hadiah ke luar negeri. Tak pernah merasa memiliki kemampuan untuk menjadi kepala cabang sebuah perusahaan BUMN, eee, tahu-tahu malah lolos tes seleksi. 
 
Bung Karno & Bung Hatta
Hal seperti itulah yang terjadi pada salah seorang rekan saya. Merasa hanya menjadi karyawan biasa-biasa saja, ia tak pernah menyangka jika terpilih mewakili kantor cabangnya untuk mengikuti tes seleksi calon kepala cabang di kantor pusat sana. Mendapat anugerah seperti itu, bukannya senang justru ia malah puyeng. Jujur, ia mengatakan, “Saya ini nol puthul (tidak bisa sama sekali) bahasa Inggris-nya, lha, bagaimana saya bisa melewati seleksi itu,” ujarnya cemas. Di tengah-tengah kecemasannya itu, ia memberanikan diri untuk sowan ke rumah kyai-nya – hitung-hitung mohon dukungan spiritual. Ia masih tak yakin bisa lolos seleksi.

Minggu, 02 Agustus 2015

Halal bil Halal di ndalem KH. Masrikhan Asy’ari



Bagi Allah, segalanya mungkin! Janganlah bersedih …!

Alhamdulillah, usai lebaran kemarin, kami berkesempatan untuk sowan di ndalem KH. Masrikhan Asy’ari, Jatirejo, Mojokerto. Bagi Anda, yang gemar mendengar ceramah radio di seputaran Mojokerto saat menjelang maghrib, tentunya sudah sangat paham siapa KH. Masrikhan itu – bisa jadi, malah Anda jauh lebih paham dan lebih mengenal KH. Masrikhan Asy’ari daripada saya atau, malah sebagian dari pembaca ini adalah santri beliau.

Baiklah, terlepas apakah Anda pernah nyantri di pesantren beliau atau tidak, saya mencoba untuk kembali menulis sebagian “oleh-oleh” hasil dari kunjungan kami ke ndalem beliau. Dari sekian banyak petuah yang disampaikan, saya menggaris bawahi satu hal, yakni: dalam berbagai kesempatan, terkadang Allah (seolah) menjebloskan kita ke dalam suatu persoalan yang pelik – namun sesungguhnya, Allah hendak mengangkat derajat kita ke tempat yang tinggi, tanpa kita pernah menyadarinya.

Beliau, mengambil contoh kisah Nabi Yusuf as. Bagaimana pada saat itu, Nabiyullah Yusuf as., jelas-jelas terbukti tidak bersalah dalam kasusnya dengan Zulaikha, ibu angkatnya, namun pada kenyataannya – dengan berbagai skenario – beliau tetap dijebloskan ke dalam penjara. Tapi, siapa pernah sangka, jika kemudian – dengan sebab tersebut – justru Nabiyullah Yusuf as., diangkat derajatnya oleh Allah swt; diangkat sebagai rasul dan menjadi “orang penting” di kerajaan.

Siapa pernah sangka, jika Nabiyullah Ibrahim as., tidak binasa saat dimasukkan ke dalam bara api yang menyala-nyala oleh Raja Namrud, melainkan beliau malah terlepas dari ikatan yang membelenggu dirinya, dan beliau kemudian diangkat Allah sebagai Rasul pilihan-Nya.

Sahabat, berkaca dari cerita tersebut, sudah sepantasnya jika kita tidak perlu bersedih lagi atas berbagai persoalan yang datang menghampiri kehidupan kita. Atas berbagai problematika kehidupan yang menempa kehidupan kita. Biarlah persoalan itu tetap menjadi persoalan. Biarlah problematika itu tetap menjadi pelengkap seni kehidupan kita. Biarlah orang-orang yang membenci kita itu tetap dengan kebenciannya. Biarlah orang-orang yang mencaci maki kita itu, tetap dengan caci makinya. Kehidupan kita tetap harus berjalan sebagaimana mestinya. La tahzan, innallaaha ma’ana – Jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita!

Begitu pula Anda yang (mungkin) saat ini diuji Allah dengan kekurangan, percayalah dan yakinilah bahwa kehidupan belumlah berakhir – hidup ini masih koma, belum titik – pada saatnya Allah akan mengangkat derajat kita pada tempat yang tinggi, setinggi-tingginya. Percayalah Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Ridhalah terhadap ketetapan dan ketentuan-Nya. Berbaik sangkalah pada Allah, karena sesungguhnya Allah memang Maha Baik dan Ia senantiasa akan memberi yang terbaik bagi hamba-Nya.

“Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata, “Inna lillahi wa inna illaihi roji’un.” (Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali). Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al- Baqarah [2]: 155-157).

Wallahu’alam bishowab.

@kangwiguk
Belajar atas apa-apa yang perlu dipelajari.

Jumat, 31 Juli 2015

Sudah Kau Minta Anaknya, Jangan Pula Kau Ambil Bapaknya



Seperti biasa, pagi itu, Cak To dan Kang No, ngobrol gayeng di warung kopi Mbah Dul.  Sudah jadi kebiasaan, meski Cuma andok kopi saja yang seharga seribu lima ratus rupiah, Cak To dan Kang No, selalu nongkrong berlama-lama di warung kopi Mbah Dul itu. Terkadang mereka ditemani oleh Gus Is meskipun tidak terlalu sering – maklum, sebagai modin desa, Gus Is harus bisa menempatkan diri. Ya, setidaknya jaga image-lah; untuk menaikkan gengsi sekaligus memposisikan diri sebagai warga kelas atas. Pejabat gitu loch …. Entah, selalu saja mereka  memiliki bahan obrolan yang membuat ngobrol jadi gayeng hingga berjam-jam lamanya.

“Ada apa, Cak To, dari tadi Sampean kok mesam-mesem sendiri …,” tegur Kang No sambil mengoleskan ampas kopi pada sebatang rokok di sebelah tangan kirinya.

“Hehehe …, biasa Kang, cek status BB teman-teman,” jawab Cak To datar tanpa melirik sedikitpun pada Kang No – lagi konsentrasi penuh pada gadget pintar miliknya.

Haalaaah …,” sergah Kang No, “Paling yo, cuma gitu-gitu saja. ‘Lagi OTW …’ kalau tidak gitu ya, ‘Apa yang sedang Anda pikirkan saat ini?’ opo maneh …?!”

“Lucu, Kang. Arek-arek itu lucu-lucu. Lihat ini status dari Cak Amin, ‘Opo jare Gusti Alloh, aq manut ae …’”

Preeettt …,” sela Kang No. “Gombal ta Amin iku, lha kemarin waktu ditinggal nikah sama Ning Umi ae wes jungkel-jungkel kok ngomong manut karo Gusti Alloh. Gayane koyok gombale mukiyo ae …,” ujar Kang No sambil menuangkan kopi ke dalam pinggan.

Lho, Sampean tidak boleh begitu, Kang …, bisa saja apa yang ditulis oleh Cak Amin ini benar. Cak Amin sadar, bahwa segala sesuatu itu sudah ada ketentuannya, sudah ada qodho-qodhar-nya.”

Ga percaya aku, Cak To, ga percaya,” ujar Kang No sambil mengibaskan tangannya. “Amin itu cah gemblung, nggak nggenah, syukur njeplak omongane. Paling-paling itu lho cuma pelampiasan saja. Upaya untuk menghibur diri, tidak lebih!”

“Lho …, lho …, kok Sampean jadi sewot to, Kang …?!”

“Bukan sewot aku ini, kenyataannya memang begitu kok. Nggih mboten Mbah Dul …?” yang ditanya hanya mringis saja sambil asyik nguleni tepung pisang goreng. “Tapi  kabar Ning Umi sekarang bagaimana, Cak …?”

Haalaah …, ternyata.”

“Ternyata apa, Cak?”

“Ternyata Sampean kangen to, sama Ning Umi …?”

“Ya, nggak-lah, Cak!”

Haaalah …, ngaku saja, yang jujur …, kangen juga nggak apa-apa, nggih mboten Mbah …?” Lagi-lagi Mbah Dul hanya mesem saja, tak keluar sepatah katapun. Sementara Kang No  sedikit tersipu terkena pancingannya Cak To. “Nih, Sampean aku tunjukin foto profilnya Ning Umi, tapi jangan sakit hati lho ya …, janji lho ya …?!”

“Ngomong opo ae koen, Cak …?!”

“Lho, serius ini! Kalau Sampean sakit hati bisa modar nanti, kan bisa gawat ….”

Haalaah, sini, coba aku lihat,” sergah Kang No sambil tangannya merebut gadget dari tangan Cak No, segera tangannya berputar mencari hal yang dimaksud. “Lho …, lho ….”

“Ada apa, Kang …?! Kan sudah aku bilang tadi, sebaiknya jangan dilihat daripada nanti jadi gawat ….”

“Bukan itu, Cak, yang aku maksud. Lihat ini! Umi Zulaikha sekarang namanya berubah jadi Umi Zakariya.”

Haalaah, Cuma masalah nama saja, Sampean, kok seperti kebakaran jenggot. Itu gaul, Kang, namanya, G-A-U-L! modern Kang, lihat saja artis-artis di televisi itu, begitu selesai nikah namanya langsung berubah – ada tambahan nama suaminya di belakangnya. Keren kan …?!”

“Keren gundulmu tah …?”

“Keren, Kang. Nanti juga kalau aku nikah, namaku akan kusematkan dibelakang nama istriku,” eja Cak To seperti orang sedang membaca deklamasi.

“Itu nyalahi aturan namanya, Cak?!”

Nyalahi gimana? Lha sudah jadi suami yang sah kok, baik berdasar hukum agama maupun hukum Negara. Sampean ini kok ya mengada-ada to, Kang….”

“Nikahnya sih sudah sah, Cak, sudah bener. Tapi menyematkan nama suami di belakang nama istri, itu yang ga bener, Cak, ga bener …!”

“Mbah Dul, kopi hitam satu, nggih ….”

  Seketika, perhatian Cak To dan Kang No langsung tertuju kepada asal suara itu.

“Ada apa ini kok ribut-ribut …?” Tanya Gus Is yang baru datang.

“Ini lho, Gus Is, Kang No ini lho, tidak terima nama mantan pacarnya berubah menjadi Umi Zakariya ….”

Hush, lambemu …!” sergah Kang No. “Bukannya ga terima, Gus, tapi menurut saya itu menyalahi aturan.”

“Aturan yang gimana, Kang …?” Tanya Gus Is.

“Lho, kok aturan yang gimana, bagaimana maksudnya to, Gus …?! Saya kok malah bingung!” 

“Yang Kang No maksud aturan, itu lho, aturan yang mana …?” Tanya Gus Is memperjelas duduk persoalan.

“Dari apa yang pernah saya dengar, Gus, bahwa perempuan itu sebaiknya menyematkan nama bapaknya dibelakang namanya – bukan nama orang lain meskipun itu suaminya sendiri. Apa saya salah, Gus …?”

“Ooo… masalah  itu to! Setahu saya sih, benar, Kang! Ini berdasar pada hadits Rasulullah saw, “Dari Sa’ad bin Abu Waqqash bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang menasabkan diri kepada selain ayahnya, padahal dia mengetahui bahwa itu bukan ayahnya, maka surga diharamkan baginya.” (HR. Bukhari Muslim).

“Itu lho, denger …!” ejek Kang No pada Cak To. “Keren sih, keren! Tapi jangan sampai melanggar aturan, apalagi kalau sampai tidak masuk surga kelak. Lha sudah minta anaknya, kok hak bapaknya mau diambil juga …,” ujar Kang No sambil menyodorkan uang seribu lima ratus rupiah, “Ini uang saya, Mbah, kopi hitam satu…!”

Wallahu’alam bishowab.

Sidoarjo, 1 Agustus 2015
@kangwiguk
#LagiBelajar

Kamis, 30 Juli 2015

Ustadz Moh. Anshor Ibnu Ridho di Mata Sahabat



Alhamdulillah, Musyawarah Daerah V, Dewan Pengurus Daerah-Badan Komunikasi Pemuda & Remaja Masjid Indonesia (DPD-BKPRMI) Kab. Mojokerto, berjalan dengan penuh hikmat dan lancar. Dalam acara yang dihelat di Masjid Jami’ An-Nur, Desa Sajen, Pacet, Mojokerto itu telah memutuskan secara aklamasi dengan memilih Ust. Moh. Anshor Ibnu Ridho, S.Pd.I., sebagai ketua umum DPD BKPRMI Kab. Mojokerto untuk periode empat tahun ke depan. Ini adalah kali kedua Beliau terpilih sebagai Ketua Umum DPD BKPRMI Kab. Mojokerto.
Ust Anshor, sesaat sebelum ceramah

Bagi Anda, para aktivis di Kab. Mojokerto, tentu sudah tidak asing lagi dengan Ust. Anshor ini – begitu beliau biasa dipanggil. Selain mengajar, beliau juga dikenal sebagai pribadi yang bertanggungjawab, ramah, dan loman, sebagaimana yang disampaikan oleh Gus Ali Mohammad Nasih, salah satu tokoh muda NU Mojokerto.

“Jabatan ketua penting baginya (Ust. Anshor/ red). Beliau merupakan sosok pribadi yang bertanggungjawab, penyabar, penyayang ummat, loman, dan berdedikasi,” ungkapnya.

Hal senada juga disampaikan oleh Ust. Mokhamad Yunus, pimpinan sidang Musda V DPD-BKPRMI Kab. Mojokerto beberapa waktu yang lalu. “Jabatan ketua sudah sangat tepat bagi Ust. Anshor. Selain sabar dan loman, beliau juga cukup bijaksana dalam menyikapi berbagai persoalan.”

Sedangkan sebuah komentar unik disampaikan oleh salah satu perwakilan dari Dewan Pengurus Kecamatan (DPK-BKPRMI) Mojosari, Ust. Karso, “Gus Anshor itu, sip orangnya. Suka berbagi bahagia, duka disimpan sendiri ….”

Sebegitunyakah Beliau …?

Semoga Allah memberi kekuatan dalam menjalankan amanah ini. Semangat berjuang, Ust. Anshor …! (and/red).