Jumat, 31 Juli 2015

Sudah Kau Minta Anaknya, Jangan Pula Kau Ambil Bapaknya



Seperti biasa, pagi itu, Cak To dan Kang No, ngobrol gayeng di warung kopi Mbah Dul.  Sudah jadi kebiasaan, meski Cuma andok kopi saja yang seharga seribu lima ratus rupiah, Cak To dan Kang No, selalu nongkrong berlama-lama di warung kopi Mbah Dul itu. Terkadang mereka ditemani oleh Gus Is meskipun tidak terlalu sering – maklum, sebagai modin desa, Gus Is harus bisa menempatkan diri. Ya, setidaknya jaga image-lah; untuk menaikkan gengsi sekaligus memposisikan diri sebagai warga kelas atas. Pejabat gitu loch …. Entah, selalu saja mereka  memiliki bahan obrolan yang membuat ngobrol jadi gayeng hingga berjam-jam lamanya.

“Ada apa, Cak To, dari tadi Sampean kok mesam-mesem sendiri …,” tegur Kang No sambil mengoleskan ampas kopi pada sebatang rokok di sebelah tangan kirinya.

“Hehehe …, biasa Kang, cek status BB teman-teman,” jawab Cak To datar tanpa melirik sedikitpun pada Kang No – lagi konsentrasi penuh pada gadget pintar miliknya.

Haalaaah …,” sergah Kang No, “Paling yo, cuma gitu-gitu saja. ‘Lagi OTW …’ kalau tidak gitu ya, ‘Apa yang sedang Anda pikirkan saat ini?’ opo maneh …?!”

“Lucu, Kang. Arek-arek itu lucu-lucu. Lihat ini status dari Cak Amin, ‘Opo jare Gusti Alloh, aq manut ae …’”

Preeettt …,” sela Kang No. “Gombal ta Amin iku, lha kemarin waktu ditinggal nikah sama Ning Umi ae wes jungkel-jungkel kok ngomong manut karo Gusti Alloh. Gayane koyok gombale mukiyo ae …,” ujar Kang No sambil menuangkan kopi ke dalam pinggan.

Lho, Sampean tidak boleh begitu, Kang …, bisa saja apa yang ditulis oleh Cak Amin ini benar. Cak Amin sadar, bahwa segala sesuatu itu sudah ada ketentuannya, sudah ada qodho-qodhar-nya.”

Ga percaya aku, Cak To, ga percaya,” ujar Kang No sambil mengibaskan tangannya. “Amin itu cah gemblung, nggak nggenah, syukur njeplak omongane. Paling-paling itu lho cuma pelampiasan saja. Upaya untuk menghibur diri, tidak lebih!”

“Lho …, lho …, kok Sampean jadi sewot to, Kang …?!”

“Bukan sewot aku ini, kenyataannya memang begitu kok. Nggih mboten Mbah Dul …?” yang ditanya hanya mringis saja sambil asyik nguleni tepung pisang goreng. “Tapi  kabar Ning Umi sekarang bagaimana, Cak …?”

Haalaah …, ternyata.”

“Ternyata apa, Cak?”

“Ternyata Sampean kangen to, sama Ning Umi …?”

“Ya, nggak-lah, Cak!”

Haaalah …, ngaku saja, yang jujur …, kangen juga nggak apa-apa, nggih mboten Mbah …?” Lagi-lagi Mbah Dul hanya mesem saja, tak keluar sepatah katapun. Sementara Kang No  sedikit tersipu terkena pancingannya Cak To. “Nih, Sampean aku tunjukin foto profilnya Ning Umi, tapi jangan sakit hati lho ya …, janji lho ya …?!”

“Ngomong opo ae koen, Cak …?!”

“Lho, serius ini! Kalau Sampean sakit hati bisa modar nanti, kan bisa gawat ….”

Haalaah, sini, coba aku lihat,” sergah Kang No sambil tangannya merebut gadget dari tangan Cak No, segera tangannya berputar mencari hal yang dimaksud. “Lho …, lho ….”

“Ada apa, Kang …?! Kan sudah aku bilang tadi, sebaiknya jangan dilihat daripada nanti jadi gawat ….”

“Bukan itu, Cak, yang aku maksud. Lihat ini! Umi Zulaikha sekarang namanya berubah jadi Umi Zakariya.”

Haalaah, Cuma masalah nama saja, Sampean, kok seperti kebakaran jenggot. Itu gaul, Kang, namanya, G-A-U-L! modern Kang, lihat saja artis-artis di televisi itu, begitu selesai nikah namanya langsung berubah – ada tambahan nama suaminya di belakangnya. Keren kan …?!”

“Keren gundulmu tah …?”

“Keren, Kang. Nanti juga kalau aku nikah, namaku akan kusematkan dibelakang nama istriku,” eja Cak To seperti orang sedang membaca deklamasi.

“Itu nyalahi aturan namanya, Cak?!”

Nyalahi gimana? Lha sudah jadi suami yang sah kok, baik berdasar hukum agama maupun hukum Negara. Sampean ini kok ya mengada-ada to, Kang….”

“Nikahnya sih sudah sah, Cak, sudah bener. Tapi menyematkan nama suami di belakang nama istri, itu yang ga bener, Cak, ga bener …!”

“Mbah Dul, kopi hitam satu, nggih ….”

  Seketika, perhatian Cak To dan Kang No langsung tertuju kepada asal suara itu.

“Ada apa ini kok ribut-ribut …?” Tanya Gus Is yang baru datang.

“Ini lho, Gus Is, Kang No ini lho, tidak terima nama mantan pacarnya berubah menjadi Umi Zakariya ….”

Hush, lambemu …!” sergah Kang No. “Bukannya ga terima, Gus, tapi menurut saya itu menyalahi aturan.”

“Aturan yang gimana, Kang …?” Tanya Gus Is.

“Lho, kok aturan yang gimana, bagaimana maksudnya to, Gus …?! Saya kok malah bingung!” 

“Yang Kang No maksud aturan, itu lho, aturan yang mana …?” Tanya Gus Is memperjelas duduk persoalan.

“Dari apa yang pernah saya dengar, Gus, bahwa perempuan itu sebaiknya menyematkan nama bapaknya dibelakang namanya – bukan nama orang lain meskipun itu suaminya sendiri. Apa saya salah, Gus …?”

“Ooo… masalah  itu to! Setahu saya sih, benar, Kang! Ini berdasar pada hadits Rasulullah saw, “Dari Sa’ad bin Abu Waqqash bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang menasabkan diri kepada selain ayahnya, padahal dia mengetahui bahwa itu bukan ayahnya, maka surga diharamkan baginya.” (HR. Bukhari Muslim).

“Itu lho, denger …!” ejek Kang No pada Cak To. “Keren sih, keren! Tapi jangan sampai melanggar aturan, apalagi kalau sampai tidak masuk surga kelak. Lha sudah minta anaknya, kok hak bapaknya mau diambil juga …,” ujar Kang No sambil menyodorkan uang seribu lima ratus rupiah, “Ini uang saya, Mbah, kopi hitam satu…!”

Wallahu’alam bishowab.

Sidoarjo, 1 Agustus 2015
@kangwiguk
#LagiBelajar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan komentar dengan bahasa yang santun, mari kita biasakan diri untuk melakukan perubahan yang positif di sekitar kita.