Senin, 10 Agustus 2015

Bantuan Modal Yang Tak Pernah Habis

Malam itu, Kang No Dan Cak To berjalan beriringan menyusuri jalanan desa yang remang-remang. Suara jangkrik bersenandung bersama menemani setiap langkah kedua orang yang tengah dirundung masalah itu. Ya, Kang No dan Cak To bermaksud mengakhiri kehidupannya yang serba tak jelas itu.

"Sudah bosan saya jadi orang miskin terus, Cak," ujar Kang No sambil sesekali membetulkan sandal jepitnya yang kerap lepas itu.

"Sama, Kang. Saya juga bosan jadi pengangguran. Pekerjaan tak jelas, apalagi duitnya ...."

"Benar, Cak.  Makanya, kita harus bertekad untuk merubah kehidupan kita. Ingat! Allah tidak akan merubah suatu kaum, jika kaum itu tidak mau berusaha untuk merubah kehidupannya sendiri," kata Kang No menirukan sepenggal kalimat yang biasa dikutip oleh Gus Is itu.

"Sampean yakin, bahwa Gus Is pasti memberi bantuan modal kepada kita?"

"Saya yakin, Cak. Saaangat yakin!"

"Apa dasar keyakinan Sampean itu, Kang" Lha selama ini Gus Is sangat perhitungan kok dengan uang ...."


"Percayalah, Gus Is pasti akan memberi bantuan modalnya kepada kita."


"Iya, tapi apa dasar keyakinan Sampean itu?"

"Pertama," kembali Kang No membetulkan sandal jepitnya yang lepas. "Gus Is baru saja dapat uang landasan untuk sawahnya yang di ujung desa sebelah. Jumlahnya gede lho, hampir mendekati satu milyar je ..., ngerti nggak Sampean, berapa jumlah nol untuk satu milyar itu?"

"Halah, Sampean itu kok meremehkan saya. Kalau cuma menghitung jumlah nolnya saja saya pernah, Kang! Yang tidak pernah itu menghitung uang satu milyar itu lho .... Emangnya Sampean pernah, Kang?"

"Belum sih," jawab Kang No sambil terkekeh.

Tak terasa, mereka sudah berada persis dipertigaan jalan desa. tepat di sebelah kanan jalan itulah rumah Gus Is berada.

"Assalamu'alaikum ...," 

"Wa'alaikumsalam ..., eh Kang No dan Cak To. Monggo masuk! ayo silahkan masuk ...," jawab si empunya rumah dengan ramah. "Tumben nggak nongkrong di warung kopinya Mbah Dul?"

"Iya, Gus, pingin ganti suasana," jawab Cak To singkat.

"Biar ada perubahan, Gus," timpal Kang No.

"Ada perlu apa?"

"Anu, Gus ...."

"Halah, ngomong aja. Pake anu-anu segala. To the point. Langsung pada duduk persoalannya ...!"

"Begini, Gus. Beberapa hari ini kami sering merenung sambil ngopi di warungnya Mbah Dul ...." kata Kang No yang nampak kelihatan gugup.

"Bagus itu, Sampean merenung tentang apa?"

"Saya teringat dengan dawuh njenengan mengenai perubahan itu lho, Gus. Bahwa Allah tidak mau merubah jika kita tidak berubah," lanjut Kang No masih dengan kegugupannya.

"Iya, bener itu, Kang. Bener sekali ...."

"Lha, yang jadi persoalan kami itu kan mengenai modal, Gus.  Saya sendiri berencana untuk jualan pentol cilok keliling, sedangkan Cak To, katanya mau jualan kue rangin, tapi ya itu, kami terkendala modalnya, Gus."

"Oalah, gampang. Tunggu sebentar ya ....", jawab Gus Is sambil bangkit dari duduknya. Ia bergegas pergi  ke dalam rumah, seketika tubuhnya yang dibalut baju koko warna putih itu hilang ditelan kelambu yang menjuntai diperpisahan antara ruang tamu dan ruang keluarga.

"Kelihatannya kali ini kita berhasil, Kang ...," colek Cak To yang sedari tadi diam saja.

"Apa kubilang? Kita pasti berhasil ...," ujar Kang No sambil memberi jempol pada karibnya itu.

"Begini," tanpa mereka sadari, tiba-tiba Gus Is sudah duduk di tempatnya semula. "Niat baik itu harus segera ditindak lanjuti. Jangan ditunda-tunda lagi. Segera! Segera laksanakan. Mengenai modal? Sampean mau, saya kasih modal yang tak akan pernah habis hingga ajal menjemput?"

"Ya, maulah, Gus ...," jawab mereka serentak.

"Imam Ghazali pernah dawuh, 'Aku tidak mempunyai barang dagangan kecuali umur. Apabila ia habis, maka habislah modalku sehingga putuslah harapan untuk berniaga dan mencari keuntungan lagi'. Nah, maka pesan saya untuk Sampean berdua, selama masih ada umur, selama masih ada harapan, teruslah berjuang. Jangan lupa untuk selalu berdoa, in syaAllah, Sampean pasti berhasil. Jangan lupa diingat-ingat pesan saya itu."

"Terus modal lainnya gimana, Gus?" tanya Kang No.

"Modal itu saja sudah lebih dari cukup, yang penting niatnya dijaga sejak awal. Sudah ya, saya mau ada kondangan ...!"

Maka beringsutlah mereka keluar dari ndalem rumah Gus Is, sambil berjalan menyusuri jalanan desa yang gelap, berkali-kali Kang No berucap, "Kampret ..., kampret ...."

@kangwiguk




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan komentar dengan bahasa yang santun, mari kita biasakan diri untuk melakukan perubahan yang positif di sekitar kita.